Laman

SELAMAT DATANG

Minggu, 03 Mei 2009

Psikologi sebagai Ilmu Penunjang Kegiatan Belajar Mengajar Matematika

Disamping ilmu mendidik (pedagopik), berbagai bidang bagian dalam psikologi merupakan cadangan pengetahuan dan pengalaman yang kaya dan sangat berarti bagi didaktik matematika. Beberapa bidang bagian psikologi yang penting bagi didaktik Matematik perlu dibicarakan.

1. Bentuk dan Tahap – tahap Tingkat Belajar Matematka

R.M. Gagne dalam bukunya Syarat – syarat Belajar Matematika (1969) membedakan delapan jenis belajar matematika yang tersusun bertingkat. Tiga jenis yang pertama, yaitu belajar tanda – tanda, belajar rangsang reaksi, dan belajar berantai, bagi pelajaran matematika agaknya tidak demikian penting, karena ketiganya itu berada dalam lingkungan emosi dan psikomotris. Dengan dasar jenis belajar lainnya, melalui interpetasi Gagne tentang kekhususan mata pelajaran itu, dapat ditunjukkan cara – cara belajar yang untuk penentuan tujuan serta bentuk pelajaran matematika dapat berarti.

a. Belajar melalui hubungan (asosiasi) bahasa dan melalui perbedaan ganda adalah khas bagi pelajaran berhitung cara lama. Dengan cara lama itu anak – anak menjumpai bilangan misalnya hanya sebagai anggota suatu urutan bilangan yang ditangkap secara pendengaran. Dan itu juga hanya melalui kalimat – kalimat untuk berhitung yang terbatas seperti misalnya 2 + 3 = 5, 6 – 3 = 3, 2 x 3 = 6, dam 9 : 3 = 3, dan melalui pengulangan – pengulangan dengan kata untuk mencamkan serta menghafalkan. Seluruh pelajaran berhitung berlangsung hampir semata – mata pada tingkat menunjukkan dengan kata dan tanda, yang dengan dasar rantai rangsang reaksi dilatihkan berulang, dan diharapkan akan dikuasai atau dimiliki oleh para pelajar. Sejauh pengamatan dapat dilakukan, cara seperti diatas hampir tidak pernah melalui peragaan – peragaan tertentu yang selalu membantu cara berfikir. Cara tersebut tidak dapat menjadi sarana guna memperoleh gambaran yang jelas tentang arti bilangan dan angka – angka secukupnya. Begitu pula tentang kata – kata dan lambang yang digunakan dalam berhitung dan persamaan angka – angka.

Jenis belajar seperti itu sebetulnya hampir tak ada gunanya untuk disebut – sebut, bila sekarang sudah tidak ada lagi pengajar matematika yang memberikan pelajaran setidaknya sebagian masih dengan cara seperti tersebut diatas. Dalam para itu pelajar mengalami belajar matematika sebagai bergaul dengan pengertian – pengertian yang tidak dipahami dan terus bergulat dengan tanda dan lambang yang tidak ada artinya bagi dia.

b. Belajar pengertian dan pemahaman terutama bertujuan pada pembentukan gambaran yang ada artinya dan hubungannya dengan tanda atau lambang tertentu yang diucapkan atau digambarkan. Sebagai contoh pengertian dan pemahaman yang dalam pelajaran matematika memainkan peranan pusat, dapat disebut : pengertian bilangan (gambaran arti untuk nama dan tanda bilangan yang wajar, utuh, rasional, dan nyata), pengertian pengerjaan atau operasional (gambaran arti tanda – tanda pengerjaan berhitung secara elementer dan yang lebih tinggi), pengertian sistem nilai tempat (gambaran arti penyajian bilangan dalam posisinya), pengertian geometri dari pelajaran bentuk (bujursangkar, trapesium, segitiga, segiempat, segibanyak, dan seterusnya), atau dari pelajaran pancungan kerucut (parabol, hiperbol, elips, dan lain – lain), pengertian tentang fungsi atau kegunaan dan pengertian yang berhubungan dengan itu seperti simetri, integral, diferensial, dan seterusnya. Pengertian matematika ini mencukup banyak sekali (kebanyakan tak terhingga) hal – hal dibawah satu tanda atau lambang, menjadi satu. Maka itu lalu terjadi kegiatan – kegiatan pengelompokkan yang menjadi dasar khusus bagi jenis – jenis pelajaran yang bersangkutan. Pengertian – pengertian yang secara lambat – laun dan secara bertahap tersusun, itulah yang mempunyai dasar makin baik, makin banyak, dan makin beraneka macam hal – hal yang telah dikenal oleh pelajar yang bersangkutan. Dan ini olehnya dapat disusun urutan nama atau lambang pengertiannya secara teratur. Dengan demikian makin awal juga dapat terbentuk gambaran arti hal atau bendanya masing – masing, dan dengan itu juga pengabstrakan secara maksimum sifat – sifat bersama yang khas bagi hal – hal atau kelompok yang bersangkutan.

c. Dalam jenis belajar melalui peraturan pada pelajar matematika termauk pengenalan, yaitu penangkapan dan pemahaman kata, ungkapan, sera cara kerjanya. Dalam pada itu pengertian – pengertian terhubungkan secara berantai satu sama lain dan diantaranya terdapat hubungan – hubungan yang sangat berarti.

Contoh khas misalnya mempelajari secara penalaran kata – kata serta ungkapan berhitung, peraturan – peraturan berhitung, dan cara pengerjaan berhitung, juga menangkap dan memahami dengan cara bernalar patokan – patokan atau aksioma geometrid an aturan – aturan mempelajarinya. Dianggap bahwa penyibykan pelajaran dengan ungkapan dan cara kerja matematika akan makin efektif belajarnya dan makin besar harapan hasil baiknya, makin baik tersusun makin besar harapan hasil baiknya, makin baik tersusun dan makin teramankan yang menjadi dasar pengertiannya.

d. Pada pemecahan peroalan atau masalah, pelajar seharusnya mengalihkan pengertian, ungkapan, dan cara kerja kepada situasi atau keadaan yang berlainan dari apa yang telah dipelajari. Dapat juga belajar dari pengertian dan ungkapan yang telah dikenal melalui kombinasi, generalisasi, atau deduksi belajar untuk memperoleh yang baru. Atau pelajar untuk itu harus mengkombinasikan dan membuat variasi dari cara kerja yang telah ia ketahui. Dalam pada itu yang sangat menentukan ialah kemampuan untuk berprestasi merekakan atau menciptakan sesuatu dengan berfikir secara mandiri. Inilah yang perlu ditumbuhkan dan dikembangkan pada para pelajar. Dan dalam pada itu pengalihan yang telah dipelajari kepada situasi atau keadaan yang lama dan masih baru, menjadi sangat berarti. Inilah yang dalam psikologi disebut pengalihan atau transfer (lihat Bergius, Correl)


2. Persyaratan Psikologis dalam Perkembangan Pelajaran Matematika

Pelajaran yang menggunakan proses belajar – mengajar khas untuk mata pelajaran itu dan ingin mempertahankannya, harus mempertimbangkan pembatasan – pembatasan yang terdapat karena usia pelajar, dan dengan itu tentu juga tingkat kematangan berpikirnya. Penemuan – penemuan serta pengertian – pengertian tentang perkembangan psikologis dalam jangkauan pikiran anak yang dapat dicapai dalam belajar matematika terutama kita peroleh dari dua aliran psikologi, yaitu dari aliran Jean Piaget dan Jerome S. Bruner. Dari penemuan dan pengertian mereka itu dapat kita buat ringkasan sebagai berikut.

a. Pikiran kanak – kanak dan anak muda sampai kira – kira berumur 12 tahun tidak boleh diartikan atau dianggap seperti pikiran orang dewasa, yang secara kuantitatif masih kurang. Pikiran anak tersebut secara kualitatif mengikuti prinsip – prinsip lain dan mengalami keterbatasan dalam bahannya. Karenanya, dalam tingkat usia ini pelajaran matematika sebagian seharusnya berbeda dengan cara orang dewasa mempelajari matematika. Terutama bekerja dengan pengertian yang abstrak seperti berbagai definisi atau susunan teori mengenai aksioma yang didasarkan pada kesimpulan secara deduktif, hal – hal semacam itu bagi anak sampai 12 tahun belum mungkin.

b. Kesulitan – kesulitan sewaktu mempelajari pengertian matematika terjadi pada anak – anak dan anak muda terutama karena sifat – sifat penting yang tetap pada suatu benda, tidak diperhatikan sungguh – sungguh. Misalnya, pada usia yang masih muda belia itu, anak – anak tersebut menganggap,

§ Panjang suatu tongkat dapat menjadi berubah karena tongkat itu digerakkan

§ Jarak antara dua titik yang tempatnya tetap dapat berubah bila ditaruh dinding di antara kedua titik tersebut

§ Isi suatu bola dari plastic lunak dapat menjadi lebih besar atau lebih kecil bila bentuknya diubah – ubah

§ Isi suatu zat cair dapat bertambah atau berkurang bila cairan itu dituangkan dalam bejana dengan bentuk lain atau dibagi – bagi dalam beberapa wadah

§ Jumlah benda suatu campuran atau kelompok dapat berubah bila campuran itu disusun dengan cara lain dalam suatu ruang : artinya, urutan atautempat antara dua unsur pada campuran atau kelompok tersebut berubah, salah satu menjadi terbagi – bagi, atau salah satu unsur diganti dengan yang besarnya, bentuknya, atau warnanya berlainan.

Maka itu sudah sewajarnya bahwa pengertian dasar yang begitu penting seperti panjang, luas, isi, dan jumlah, belum dapat dibentuk dengan jelas, selama anak – anak hanya mengamati perubahan, akan tetapi tidak memperhatikan hal – hal yang tetap (konstanta).

Kesulitan – kesulitan lain mengenai pengelompokkan dan penyusunan benda ialah karena pada anak – anak yang masih muda itu misalnya terdapat anggapan atau pandangan yang berlainan sama sekali dengan yang ada pada orang dewasa. Baru secara lambat – laun mereka itu belajar tentang pentahapan (pembedaan tanpa pemisahan), dan cara kerja dengan dimensi ganda (perkalian kelompok dan penatan). Gerak (mobilitas) dan akibat (konsekuensi) dalam menerapkan berbagai criteria, meningkat hanya pelan – pelan.

c. Pengamatan terjadinya konsepsi pengertian yang matematislogis, keseluruhannya memungkinkan suatu penjabaran atau penguraian tahap – tahap perkembangannya. Tahap – tahap atu tbagi tiap anak tidak tergantung pada hambatan atau kelambatan yang sehubungan dengan rata – rata, mempunyai pengaruh atau akibat yang tetap. Pada belajar matematika pengaruh atau akibat tersebut perlu dipertimbangkan ; tidak boleh ada tahap atau stadium yang diloncati. Tiap tahap ditandai dengan gejala – gejala susunan structural, yang setiap waktu dipersiapkan oleh tahap sebelumnya, dan kemudian menyatu dengan yang berikutnya.

d. Selama masa perkembangannya, pada anak juga tumbuh berbagai sarana yang dapat menggambarkan dan mengolah pengalamannya dalam dunia sekelilingnya. Bruner membedakan tiga bentuk penggambaran : yang menggiatkan (enaktif), yang menggambarkan dengan nyata (ikonis) dan yang melambangkan (simbolis). Dan anak pada dasarnya belajar menurut urutan tersebut.

Kegiatan atau keaktifan akan memperoleh prioritas bila dalam perkembangannya sebagai tindakan dan penyusunan pengalaman serta pengertiannya terlihat jelas pada tahun – tahun pertama dalam usia anak yang bersangkutan. Bagi Piaget, hal tersebut juga merupakan dasar abstraksi (lihat 1974), artinya dasar berpikir secara abstrak. Konsepsi pengertian matematika penilaiannya tidak berkurang karena diperoleh pengamatan secara langsung dan tetap, dan karenanya juga hampir tidak oleh penamppilan gambaran yang nyata. Juga Bruner (197) menunjukkan pengalamannya bahwa bentuk – bentuk gambaran yang tetap dan tak bergerak dapat menganggu sifat gerak generalisasi (menjadi umum) dan abstraksi (menjadi abstrak). Di tengah – tengah penyajian secara simbolis, yang paling dekat ialah bahasa. (Baru kemudian dalam pelajaran matematika, tanda – tanda yang tidak ikonis mendapat arti cukup penting). Dalam hal ini Piaget cenderung untuk menganggap kemungkinan pengungkapan dengan bahasa sebagai hasil pemahaman pengertian yang diperoleh dari pengalaman kegiatan, sedangkan Bruner mengakuinya mempunyai perkembangan tersendiri yang lebih kuat, terutama dalam hal hubungannya dengan bahasa. Bruner menyatakan: “Melalui interaksi antara bahasa dan pengalaman yang pada anak berumur dua sampai tiga tahun itu secara simbolis hampir belum terorganisasikan, bahasa lambat – laun menemukan jalannya dalam jangkauan pengalaman.” (Bruner, 1971, halaman 70). Dan sebaliknya ia berpendapat, bahwa penggambaran secara simbolis itu dapat dipergunakan untuk memimpin atau mengarahkan pengamatan dan tindakan atau kegiatan. Hasil pengarahan itu tergantung pada seberapa jauh, dalam jangkauan pengalaman atau kegiatan, persyaratan atau keperluan bahasa disesuaikan.

Konsepsi belajar – mengajar yang timbul dari psikologi Jean Piaget dan alirannya, ditunjukkan oleh Piaget sendiri dalam bukunya, Teori dan Metode Pendidikan Modern (1974), dan oleh Leo Montada kemudian diuraikan lebih lanjut. Dalam pada itu semuanya meruncing pada pertanyaan, apakah untuk mencapai keadaan seimbang, yang merupakan sifat khas bagi tahap perkembangan masing – masing, dengan suatu cara soalnya kemudian dipercepat. Pertanyaan itu oleh Hans Aebli dalam bukunya, Didaktik Psikologi, secara teoretis telah diiakan, yang didalamnya ia menyatakan – tercakup dalam rumus “prinsip operatif” – bahwa belajar adalah melalui kegiatan, pencarian, penelitian, dan menghindari kebiasaan berpikir secara kaku melalui latihan yang operatif (yang sesuai dengan tujuannya). Katanya, “Latihan operatif merupakan latihan sesudahnya dengan tujuan untuk membuat suatu kegiatan yang berpola pada suatu contoh, menjadi lebih dapat bergeratu atau lebih data diaktifkan. Ini untuk membersihkannya dari unsur – unsur yang tak diinginkan, dan untuk menyatukan atau mengintegrasikan berbagai cara pemecahan masalah menjadi satu bentuk atau struktur yang dikenal dan dipahami (yang kognitif).” (Montada, 1970, halaman 157) Hipotesis kemungkinan belajar menurut prinsip, operatif memerlukan secara bebas pengawasan empiris (menurut pengalaman). Montada menganggap telah menunjukkan bahwa mobilitas (aktif bergeraknya) pikiran ditingkatkan melalui latihan, dan dengan demikian menmbulkan situasi yang sangat baik bagi terjadinya keadaan yang seimbang. Berlatih memungkinkan dengan cara yang sama perbaikan dalam tindakan dasar maupun wawasan dalam kebalikannya. Mengatasi konflik pemahaman (kognitif) dan latihan pengalihan (transfer) dapat menimbulkan hasil belajar yang lebih baik. Juga keterangan dengan kata – kata yang khas dari pengajar dan pembuatan pernyataan dari pengalaman oleh anak itu sendiri, agaknya memunyai pengaruh baik terhadap kemampuan anak untuk memecahkan peroalan, seperti diinginkan kebenarannya leh Piaget dan aliranya. Dengan demikian perkembangan tetap menjadi titik pangkal dan persyaratan untuk belajar, tanpa menentukan sepenuhnya.


3. Kemungkinan Psikologis dalam Memahami Pelajaran Matematika

Persyaratan psikologis dalam perkembangan pelajaran matematika pertama – tama mengenai bagian atau komponen pembentukan pengertian. Hal ini memerlukan penyempurnaan melalui komponen – komponen perguaulan dengan pengertian – pengertian yang dalam jangkauan pelajaran kita menonjol sebagai pikiran produktif dan dapat memecahkan masalah. Baru bila kita tahu bagimana berlangsungnya hal tersebut, kita dapat memberikan alasan bagi kemungkinan adanya pengaruh pedagosis. Dalam penyajian bersama berbagai penemuan dan mendapat psikologis kognitif, terutama dari Duncker, Wertheimer, dan Selz, kita menemukan pada Rolf Oerter untuk pemikiran – pemikiran sebagai berikut :

a. Pada semua perbedaan perorangan dalam memahami masalah, bagaimanapun hal ini akan berguna atau sangat membantu, kalaupun tidak mutlak, untuk seara tajam mengawasi tujuan pemecahannya dan menyekat atau menyendirikan kesukaran yang sebenarnya (analisis konflik dan tujuan). “Langkah maju pemecahannya dapat dianggap sebagai perubahan bentuk masalah secara berturut – turut. Pengkapan dan pemahaman masalahnya secara tepat sekaligus merupakan pemecahannya.” (Oerter, 1971, halaman 151)

b. Jalan ke pemecahan suatu masalah tidak selalu dapat digambarkan atau diuraikan sebagai urutan langkah menurut suatu rencana maupun urutan yang teratur. Berbagai jenis dorongan dan ingatan kemudian dapat mengubah arah pencariannya.

Bahan yang tak dapat dipakai dan pangkal tolak yang tidak baik dibuang. Pengetahuan yang telah terpaku dalam pikiran atau bahkan sudah berkarat dan program pemecahan semula dapat terbukti sebagai penghalang, sebab terdapat bahaya, kita condong untuk sangat mengandalkan cara kerja biasa yang telah menjadi kaku. Pengalaman yang diperoleh memang seharusnya menyediakan contoh atau model mencari pemecahan, tetapi tidak secara ketat menentukan perbandingan pencariannya. Maka itu dalam pelajaran matematika pemakaian kalimat atau pengungkapan sebagai tanda dan bagan atau skema pemecahan yang tersebar luas, menjadi soal yang sangat dipertanyakan.

c. “Berpikir dapat diuraikan sebagai penataan pada jarak jauh.” Dan “Pada penataan dimensi majemuk soalnya lalu menyangkut prestasi khusus dari pikiran operatif, karena harus dipertimbangkan sebagai tanda pengenal atau sifat yang khas sekaligus.” (Oerter, halaman 195) Dalam jangkauan matematika terpaut misalnya penataan besaran yang mendasari penataan linear bilangan pecahan (jadi seluruh bilangan). Kegiatan penataan dan penyusunan dijumpai juga pekerjaan dengan persamaan ketaksamaan dengan relasi dan fungsi atau dengan persamaan fungsi (rumus) dari ilmu ukur (geometri). Bentuk penataan yang lebih khusus menempatkan pengertian, definisi, sifat, atau ungkapan dalam ketergantungan satu sama lain.

d. Berpikir yang terhubungkan pada peragaan dalam didaktik matematika sering dinilai sebagai bentuk berpikir yang lebih rendah dan bagaimanapun dipandang serta diakui sebagai bentuk awal dan bentuk peralihan ke berpikir secara abstrak.

Dari pengalaman Piaget dan Bruner/Kenney/ De Sato dan Dienes/Jeeves kita mengetahui kemampuan anak – anak, yang dari percobaan dengan model – model (terutama yang aktif) dapat dijabarkan hubungan matematikanya. Tetapi setidaknya yang sama penting ialah kemampuan untuk menerapkan atau mengikatkan lagi masalah matematika abstrak kepada contoh atau model yang kongkret, seperti juga biasanya dilakukan oleh para ahli matematika.

e. Dalam proses mengajar – belajar setidaknya pengajar berusaha memberikan rencana perbandingan umum untuk berpikir ke arah pemecahan masalah itu. Strategi berpikir semacam itu, seperti biasanya dikatakan, diperoleh para pelajar secara lambat – laun selama proses perkembangannya. Ada juga sebagian yang diperoleh dalam waktu pendek dari proses mengajar – belajar yang telah dimulai dari luar. Perkembangan membuat anak makin meningkat kemampuannya untuk mengendalikan sikap – sikap atau sifatnya yang mula – mula dipimpin oleh rangsangan dari luar, menjadi yang dapat dikontrol dari dalam. Juga kegiatan luar yang mula – mula menonjol dengan memperlihatkan banyak usaha yang gagal, setidaknya sebagian harus dipindahkan ke dalam. Strategi berpikir itu dengan latihan – latihan dapat dipelajari atau diperbaiki.


4. Perubahan (Modifikasi) Pelajaran Matematika yang Diperlukan secara Sosiologis dan Karakterologis

Psikologi tidak hanya dapat menguraikan persyaratan perkembangan dan pemahaman secara psikolohid tentang pelajaran matematika; selain itu dapat juga memberikan petunjuk mengenai berbagai hal yang diperlukan dan lebih kuat mempunyai dasar dalam sifat – sifat perorangan pada pelajar. Dalam rangka ini hanya akan dikemukakan dua buah contoh seperti berikut ini.

a. Pelajar dalam keadaan perkembangan mental yang sama mengenai soal pembentukan pengertian, pelajaran peraturan, dan pemecahan masalah, pendek kata dalam hal pikiran maupun sikapnya terhadap matematika, dapat sangat berlainan satu sama lain.

b. Pelajar sebagai perorangan dalam pelajaran matematika memperlihatkan sikap terhadap bahasa yang berbeda – beda satu sama lain. Dan kita tahu bahwa bahasa mereka itu dapat memberikan pengaruh yang kuat pada proses pemecahan.

Perbedaan seperti itu kebanyakan disebabkan oleh pengaruh dari sebelum atau diluar sekolah dan memerlukan perubahan secara perorangan dalam belajar matematika, dan tentunya hanya melalui pengelompokan (klasifikasi) dalam metode pengajaran hal tersebut dapat diarahkan atau diatasi seperlunya.

Dengan demikian secara psikologis – tradisional, empat jenis dasar sehubungan dengan sikap terhadap matematika dan tempatnya untuk belajar matematika

1. Manusia perasa yang pasif – ekstrovert, dari penglihatan kehidupan ramai, memperoleh kesan dan pengalaman dari dunai kenyataan, yang menurut perasaannya ia anggap sebagai pembentukan watak mansusia. Karena baginya pengertian abstraksi (berpikir abstrak) bukanlah dunianya, dan kesenangannya mengenai mutu terutama hanya melihat pada alam yang estetis, maka sikapnya terhadap matematika adalah menoleh sampai menganggapnya sebagai musuh.

2. Hal yang sama dapat pula terjadi pada manusia perasa yang introvert. Ia mendapat pengalamannya dengan memulai sesuatu tidak dari pengamatan, melainkan dari dalam dirinya sendiri. Karena dia cenderung untuk mencegah kesan – kesan dari luar dan mengartikannya secara obyektif, maka sebaliknya matematika itu baginya dapat juga justru menjadi contoh sesuatu yang harus dipuja dan menjadi suatu benda estetika sebagai contoh berpikir dengan logika yang mempunyai tenaga kompensatoris (dapat mengimbangi segalanya)

3. Manusia berpikir menunjukkan pandangannya kepada keadaan umum benda – benda nyata. Sebagai pengamat yang tak berprasangka dan obyektif dia adalah contoh seorang ilmuwan alam. Dia kurang kecenderungannya terhadap matematika murni dan abstrak melainkan banyak perhatiannya terhadap cara kerja yang ditetapkan pada benda – benda nyata dalam ilmu yang bersangkutan.

4. Persyaratan yang baik dalam kesibukan dengan matematika, dimiliki oleh ahli teori yang mendekati pengertiannya. Ia menginginkan kejelasan dan ketertiban dalam pengertian dan ingin dapat mendasari pengetahuan dan pengalamannya secara logis dan tanpa kesalahan. Ia mempunyai kemampuan abstraksi yang terkembangkan dengan baik; gambar – gambar yang dapat diperagakan pikirannya hanya memegang peranan yang kurang penting.

Juga bila tipologi ini kelihatannya agak kabur dan secara empiris hanya sebagian dapat dianggap tetap, namun kepada pengajar dapat memberikan petunjuk penting untuk dapat mengamati dengan saksama dan mempertimbangkan perbedaan perorangan dalam persyaratan umum, yang hampir tak dapat diubah – ubah dalam belajar matematika.

Ahli sosiologi dan bahasa B. Bernstein mengelompokkan perbandingan bahasa menurut jode yang digunakan dalam interaksi ucapan (verbal). Ia memperlawankan kode yang timbul karena “diperkirakan” dan yang karena “dihaluskan” Dan dalam pada itu bahasa dalam pelajaran matematika dapat memperlihatkan ciri – ciri sebagai berikut :

§ Kalimat – kalimat yang menurut tata bahasa dan sintaktis (cara pembentukan kalimat) bentuknya sederhana diperlawankan dengan kalimat – kalimat yang tersusun tepat dan teratur;

§ Perubaan (modifikasi) kalimat secara logis; penyajian yang lemah karena pengulangan kata – kata penghubung tertentu berkali – kali diperlawankan dengan penyajian kuat melalui susunan kalimat yang kompleks dengan menggunakan berbagai kata penghubung dan anak kalimat;

Pengertian yang sering diadakan dalam alasan dan akibatnya hubungannya, dengan penyajian secara logis dan benar dalam hubungannya, dengan bantuan kata depan (kata perangkai yang tepat dan susunan kalimat yang cocok.

Bila sekarang pengajar ingin menerapkan pengertian, kalimat, atau cara kerja matematik yang betul, ia akan menggunakan kode yang telah “dihaluskan”. Sesuai dengan itu para pelajar yang diperoleh secara lebih tepat dalam kode yang telah dihaluskan. Dan karenanya ia dapat menyatakannya dengan lebih meyakinkan, dan untuk jawaban serta penjelasannya dalam kode ini ia akan lebih mudah dapat persetujuan dan pengakuan dari pengalamannya. Maka terdapatlah kecenderungan yang mudah dipahami, bahwa ukuran untuk pengetahuan dan kemampuan dalam matematika sebaiknya dilakukan melalui kekuatan dan ketangkasan pernyataannya dengan bahasa. Maka itu pelajar dengan kode yang “diperkirakan” kebanyakan lalu dirugikan. Tidak hanya karena pengetahuan dalam pelajaran yyg kebanyakan diberikan melalui bahasa itu baginya terasakan berat, namun disamping itu pengajar dapat pula sangat memandang rendah kemampuan pelajar untuk berprestasi dan mematahkan semangatnya dengan terlalu sering menunjukkan kesalahannya. Hanya pendekatan secara perorangan dengan penuh pengertian kerap kali menyelamatkan pelajar seperti itu dari malapetaka belajar yang lebih besar lagi.

Pertanyaan kepada Mata Pelajaran (Disiplin) yang Terdekat

Tak dapat disangsikan lagi bahwa pedagogic, psikologi, dan mata pelajaran terdekat yang lain sangat mendukung dalam memberikan pengetahuan luas kepada didaktik matematika. Namun demikian masih banyak terdapat pertanyaan terbuka dan pengkajian banyak pertanyaan masih belum ditangani. Beberapa masalah yang dianggap penting disini masih akan disinggung.


1. Kecerdasan (Inteligensi) dan Pelajaran Matematika

Banyak sekali dan mungkin tak diketahui berapa banyak literatur yang terdapat tentang soal kecerdasan atau inteligensi manusia. Diantara berbagai pendapat atau teori untuk memperoleh pengertian yang cukup jelas tentang inteligensi, maka metode analisis dengan faktor – faktornya yang saling berhubungan, dalam waktu akhir – akhir ini makin penting artinya. Metode itu memerlukan sederetan faktor ruang, bilangan, pencakupan kata (verbal), ingatan, pemberian alasan. Pada Meili ialah faktor – faktor penyeluruhan (globalisasi) dan keteramsan (plasisitas). Dan faktor – faktor selanjutnya pada model inteligensi Guilford lihat Jager, 1967 dan gerter, 1971. Juga pada hampir semua pengukuran inteligensi ditemukan hal – hal yang dapat digolongkan dalam jangkauan matematika.

Walaupun demikian kita masih sangat sedikit mengetahui hubungannya yang tepat antara belajar matematika dan inteligensi. Secara keseluruhan atau secara global kita perkirakan hubungan atau koreksi yang positif, dan ini juga dikuatkan oleh penelitian – penelitian sebagian, misalnya berhitung soal. Tetapi terdapat juga pengalaman – pengalaman yang sebaliknya dan juga penting sekali bagi para pengajar dalam soal yang penting ini. Yang berarti untuk perubahan atau modifikasi pelajaran matematika bagi perorangan, dapat juga disebut gaya kognitif, yang telah digarap dan diuraikan oleh H. Raddatz dalam kumpulan laporan atau referatnya (1975)

.

2. Motivasi untuk Belajar Matematika

Juga dalam masalah motivasi disamping literatur umum yang sangat luas, hanya sedikit terdapat pernyataan kearah kedudukan motivasi dan kearah kemungkinan – kemungkinan pemberian motivasi pada pelajar. Walaupun demikian hal tersebut merupakan persoalan yang sangat penting bagi hasil pelajaran matematika. Apabila hal – hal itu selanjutnya bersifat formal dan menjadi pengertian abstrak, maka perhatian terhadap suatu kebendaan, pengalaman sebelumnya yang merangsang dan pengetahuan sebelumnya yang sangat membantu, kemungkinan untuk dinamisasi, untuk pembentkan pribadi manusia, mampu untuk mengadakan hubungan pribadi, selanjutnya akan hilang atau terlupakan. Tenaga pengamatan indra yang sangat kuat, keikut sertaan perasaan (emosional), dan kegiatan – kegiatan prikomotris, hanya dapat dimanfaatkan dipinggiran pelajaran matematika. Motif – motif mana lagi yang juga ikut bekerja dan motivasi – motivasi apa yang masih mungkin, kesemuanya itu masih merupakan hal yang terbuka, belum diketahui tepat persoalannya


3. Kesulitan dan Kegagalan dalam Bidang Studi Matematika

Walaupun pemecahan masalah dalam mata pelajaran matematika, kegagalan dan kekurangan dalam perbandingan pemecahannya, seperti juga keberhasilan, merupakan peristiwa atau kejadian sehari – hari, yang mengenai sebab – sebabnya kita hanya sedikit sekali mengetahuinya, yang tersembunyi di belakang kelemahan seorang pelajar dalam pengetahuan, dalam pengertian, dan dalam pengalihan, yaitu penerapan pengertian dan cara kerja, dapat dicari sebabnya karena kekurangan dalam memberikan pelajaran (kesalahan dalam metode mengajar, kekurangan dalam penyusunan pelajaran secara psikologis, hubungan mengajar yang hanya berupa kata – kata atau verbal, atau juga hanya penyajian secara simbolis, kurang pemeriksaan atau pengawasan hasilnya, dan seterusnya). Akan tetapi kekurangan itu juga dapat dicari dalam kesulitan belajar perorangan yang bersifat sementara atau terus – menerus. Yang terakhir in dapat pula karena cacat fisik dalam perjalanan hidup, dan mungkin juga disebabkan dalam sistem saraf pusat. Tetapi lebih sering akan dijumpai gangguan belajar itu, disamping gangguan dalam jangkauan kognitif seperti gangguan pengidraan, pengamatan, kemampuan kurang dalam menggambarkan atau mengabstraksikan, pertumbuhan pemikiran, juga gangguan perasaan (emosional) dapat dipikirkan, misalnya suatu sikap terhadap matematika berdasarkan penilaian dirumah atau pengalaman disekolah (kegagalan, hasil yang jelek). J.H. Lorenz dalam salah satu karangannya telah berusaha untuk menggambarkan kemungkinan dampak konsep buatan sendiri (sikap, perasaan dan diterimanya dalam masyarakat), dan dalam hal ini ialah penempatan diri sendiri (penilaian kemampuan sendiri, kewenangan dan dapatnya diterima dalam masyarakat) terhadap hasil atau prestasi dalam bidang studi matematika (1975). Pengajar kiranya dapat banyak memperbaiki dengan perubahan – perubahannya sendiri yang cocok dalam penilaian hasil pelajaran.(Hermann Maier,Kompendium didaktik Matematika,1996)